Dakwah Instan dan Komodifikasi Agama: Ketika ‘Wong Cilik’ Terjebak dalam Atraksi ‘Gus-gusan’ di Panggung Majelis yang Laris Manis
Di era modern ini, dibersamai dengan munculnya fenomena dakwah instan yang kian merajalela terutama di kalangan masyarakat pedesaan atau pedesaan melalui acara yang menampilkan gaya dakwah menghibur dan seringkali kontroversial. Gaya dakwah yang ringan, penuh candaan, dan membahas hal-hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari ini menarik banyak masyarakat untuk ikut dalam majelis tersebut yang biasanya mengundang pemuka agama kondang bergelar 'Gus', 'Habib' atau 'Ning' yang berkamuflase menjadi satu identitas yang dianggap sakral. Majelis dakwah yang awalnya bertujuan untuk mengajarkan agama kini telah bertransformasi menjadi atraksi yang menarik perhatian, menghasilkan banyak pengikut dan keuntungan besar. Meski seringkali gaya menyampaikan dakwah ini tidak sepenuhnya mencerminkan ajaran agama yang sesungguhnya, banyak wong cilik yang merasa terhubung dan nyaman dan seringkali menjadi mayoritas jamaah dari dakwah berjenis ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: 'mengapa mereka lebih tertarik pada dakwah instan yang penuh hiburan, padahal ada ketidaksesuaian dengan ajaran agama?'
Kini, dalam beberapa kesempatan–agama sering kali diposisikan sebagai komoditas yang memiliki pasarnya sendiri melalui dakwah instan, walaupun tidak semua akan tetapi fenomena ini tengah marak dan menimbulkan dilema baru ketika dakwah instan menjadi 'pasar' dalam memenuhi kebutuhan selera dengan segala hal yang bersifat agama yang mendalam . Melalui teori komodifikasi agama, kita dapat melihat bagaimana dakwah kini direpresentasikan sebagai produk hiburan yang disesuaikan dengan preferensi jamaah. Melalui penampilan ceramah yang ringan, humor, dan gaya berbicara yang menghibur jamaah menjadi daya tarik utama bagi wong cilik, yang sering kali merasa lebih nyaman dengan pendekatan yang tidak terlalu kaku atau serius. Meskipun demikian, hal ini juga menimbulkan dilema mengenai kedalaman substansi ajaran yang disampaikan, karena dalam beberapa kasus, agama 'dijual' dengan cara yang lebih ringan, terkadang mengabaikan kedalaman filosofi atau moral yang terkandung dalam ajaran tersebut. Dakwah yang semula merupakan sarana spiritual, telah bertransformasi menjadi produk yang harus memenuhi kebutuhan pasar yang akan dikemas dengan hiburan dan humor, kepuasan penonton dan keuntungan bagi pemuka agama yang diundang.
Fenomena mengapa masyarakat lebih mudah menerima dakwah dengan gaya yang ringan dan menghibur walaupun dakwahnya tidak menyentuh ajaran agama secara substansial, bahkan terkadang kontroversial, dapat dijelaskan dengan konsep habitus dari Pierre Bourdieu. Habitus atau kebiasaan wong cilik yang terbentuk dari nilai-nilai, kebiasaan, dan pengalaman hidup mereka, mendorong mereka untuk mencari cara dakwah yang lebih mudah diakses dan relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Kebiasaan mengonsumsi hiburan yang cepat dan ringan, seperti tontonan yang menghibur di media sosial, mempengaruhi preferensi mereka terhadap dakwah yang tidak terlalu formal atau rumit. Dakwah instan, yang lebih santai dan menghibur, menjadi bagian dari praktik sosial mereka, di mana kenyamanan dan kesenangan yang lebih dicari dalam ritual agama, daripada kedalaman ajaran yang lebih formal dan mendalam. Hal ini menunjukkan bagaimana dakwah telah menyesuaikan diri dengan kebutuhan kebiasaan wong cilik yang cenderung menyukai dakwah dengan pendekatan budaya atau nilai-nilai tradisionalisme, yang lebih mengutamakan kenyamanan daripada kompleksitas ajaran agama.
Fenomena dakwah instan telah mengubah agama menjadi sebuah komoditas yang sering kali mengabaikan nilai-nilai ajaran agama yang filosofis. Keterbatasan pengetahuan agama di kalangan masyarakat membuat mereka lebih mudah menerima dakwah yang menyimpang dari ajaran agama, seperti menggunakan humor yang berkedok sebagai pendekatan dakwah, sholawat sambil berjoget, meminta barokah pemuka agama dengan cara-cara yang sejatinya menyimpang, namun disisi masyarakat lain telah terhegemoni dan Menganggap hal tersebut bagian dari atraksi 'gus' yang diklaim mampu membawa barokah, karena gaya dakwah ini dianggap lebih mudah diakses dan relevan dengan kehidupan mereka. Dengan menggunakan konsep habitus, dapat dipahami bahwa masyarakat merasa lebih diterima dalam lingkungan sosial mereka ketika dakwah disampaikan dengan cara yang lebih santai dan dekat dengan keseharian mereka. Namun, meskipun ini memberi rasa kedekatan, dakwah instan ini justru memanfaatkan keterbatasan mereka dengan mengubah agama menjadi produk hiburan yang menguntungkan bagi pemuka agama, sementara masyarakat tetap terjebak dalam pemahaman agama yang disampaikan.
Dakwah instan yang mengandalkan komodifikasi agama dan masyarakat kecil atau wong cilik memang memiliki daya tarik yang kuat, karena lebih mudah diakses dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Namun, dibalik popularitasnya, ada tantangan besar terkait pemahaman agama yang lebih mendalam. Fenomena ini berpotensi besar untuk mereduksi nilai-nilai agama yang sakral. Untuk itu, kita perlu bijak dalam memilih pemuka agama dan tidak terjebak dalam hiburan yang disamarkan yang berkedok 'dakwah'. Agar praktik keagamaan tidak hanya menjadi konsumsi hiburan semata, tetapi tetap mengarah pada penguatan spiritualitas yang bermakna untuk kehidupan bermasyarakat tanpa melakukan komodifikasi masyarakat melalui kekuatan identitas atau hubungan kuasa dari pemuka agama seperti yang baru-baru ini terjadi.
Penulis: Anisatul Khanifah
Editor: Erina Arzabel Rusdi