Analisis Kritis Di Balik Lagu 'Untungnya Hidup Harus Tetap Berjalan': Ketika Emosi dijual Sebagai Komoditas Industri Musik (Kajian Teori Industri Budaya dan Teori Simulacra)
![](https://statik.unesa.ac.id/sosiologi/thumbnail/11cb80be-c04a-448d-a62c-08ca2d3bcb02.jpg)
“Untungnya, bumi masih berputar, untungnya ku tak pilih menyerah..”
Apakah kamu pernah mendengar lirik lagu tersebut, atau justru kamu sendiri merupakan fans dari lagu Bernadya?
Kini, di masyarakat marak atas fenomena populernya lagu-lagu Bernadya bahkan menciptakan tren tersendiri di media sosial. Salah satunya melalui lagu yang tengah hits, “Untungnya Hidup Harus Tetap Berjalan.” Musik karya Bernadya kerap kali bergenre pop dan selalu mengangkat peristiwa sedih, maupun pengalaman pribadi dari Bernadya yang direpresentasikan melalui lirik-lirik dari tiap lagu yang ia ciptakan. Bahkan, musik karya Bernadya dianggap mewakili pengalaman banyak orang, pun dianggap sebagai sarana mengenali dan menerima emosi pribadi. Namun, mengapa seseorang justru merasa semakin terpuruk setelah mendengarkan lagu yang secara eksplisit memaparkan kesedihan, hal ini menciptakan utas menarik untuk dijawab, “Lagu Bernadya adalah obat atau candu?” dan “Apakah ini hanya sekadar tren atau ada sesuatu yang lebih dalam terkait komodifikasi emosi dalam industri musik?.
Artikel ini akan menganalisis fenomena ini melalui teori-teori kritis, termasuk Industri Budaya dari Adorno & Horkheimer dan Simulacra dari Baudrillard, untuk memahami bagaimana industri musik mengkomodifikasi emosi dan menciptakan simulasi perasaan yang semakin memperburuk kondisi pendengarnya yang diulas secara singkat.
Adorno dan Horkheimer menyatakan perihal industri budaya salah satunya musik, dapat mengubah pengalaman emosional dan menjadikannya sebagai produk yang dapat diperdagangkan dan dikonsumsi. Lagu sedih seperti “Untungnya Bumi Masih Berputar,” dirancang untuk mengekspresikan emosi secara berlebihan agar pendengar merasa bahwa mereka membutuhkan musik ini untuk menyalurkan perasaan mereka. Namun, jika lagu sedih yang berulang-ulang dikonsumsi, justru akan membangkitkan pengalaman sedih dan perasaan sakit yang sudah sembuh untuk kembali direkonstruksi, akhirnya akan memperpanjang kesedihan. Tetapi lagu sedih yang diulang-ulang ini, membuat audiens terus terhubung dengan produk musik yang mereka jual. Ini membuat industri musik mendapat keuntungan dari konsumsi emosional yang tak berujung.
Jean Baudrillard, dalam teori simulacra menjelaskan bahwa masyarakat modern, semakin hidup dalam dunia simulacra–sesuatu yang justru melebihi dari kenyataan itu sendiri. Lagu sedih seperti ini, alih-alih menawarkan pengalaman emosional yang autentik, justru menyajikan simalacrum yakni pengalaman kesedihan yang melebihi dari pengalaman kesedihan secara nyata, dalam artian dilebih-lebihkan demi konsumsi atas musik sedih tersebut. Dampaknya, pendengar malah terjebak dalam siklus konsumsi perasaan yang dikendalikan oleh industri musik. Kesedihan yang digambarkan dalam lagu tersebut, justru menjadi lebih nyata daripada perasaan mereka sendiri, mengaburkan batas antara perasaan asli dan yang direkayasa.
Pada akhirnya, lagu sedih hanya memberikan ilusi solusi emosional dengan menggambarkan perasaan yang sama, tetapi tidak menyelesaikan atau mengubah kondisi emosional pendengarnya sama sekali. Akibatnya, pendengar kerap merasa terperangkap dalam perasaan yang lebih dalam, bukan terbebas dari emosi mereka. Membuat masyarakat semakin bergantung pada musik yang dianggap sarana menyalurkan emosi yang sejatinya itu adalah ilusi semata, tanpa mencari tahu cara menyelesaikan konflik emosional secara sehat. Ini menjadi contoh bagaimana industri musik secara tidak langsung menciptakan ketergantungan emosional terhadap produk budaya.
Namun, lagu sedih seperti ini, sayangnya lebih hits dan memiliki pangsa pasar yang potensial di Indonesia. Maka dari itu, kita perlu sadar dan menjadi pendengar yang cerdas agar tidak terpengaruh dengan industri musik terhadap kehidupan emosional kita. Musik, yang seharusnya menjadi pelipur lara, justru berpotensi menjadi alat untuk mempertahankan kontrol kapitalisme atas perasaan kita.
Penulis : Anisatul Khanifah
Editor : Panggih S. Sukma